SENGKETA TANAH, HARUS KE PTUN ATAU PN? JANGAN SAMPAI SALAH!


Permasalahan pertanahan menurut Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (Permen ATR/Kepala BPN) Nomor 21 Tahun 2020, dikategorikan ke dalam beberapa jenis berdasarkan lingkup dan dampaknya yaitu:

1.     Kasus pertanahan mencakup sengketa, konflik, atau perkara tanah yang dilaporkan kepada instansi berwenang untuk mendapatkan penyelesaian sesuai dengan ketentuan hukum.

2.     Sengketa pertanahan, merujuk pada perselisihan tanah antara individu, badan hukum, atau lembaga yang tidak memiliki dampak luas.

3.     Konflik pertanahan, melibatkan pihak-pihak yang lebih luas, seperti kelompok atau organisasi, dan berpotensi menimbulkan dampak yang lebih besar di masyarakat.

4.     Perkara pertanahan, merupakan perselisihan tanah yang penyelesaiannya dilakukan melalui lembaga peradilan. Memberikan kepastian hukum dan mekanisme penyelesaian yang lebih terarah dalam menangani permasalahan tanah di Indonesia.

Guna menentukan pengadilan yang berwenang menangani perkara pertanahan, perlu dipahami terlebih dahulu objek permasalahannya. Misalnya, jika permasalaha terkait dengan keabsahan penerbitan sertifikat hak atas tanah, maka kasus tersebut akan ditangani oleh Peradilan Tata Usaha Negara. Namun, jika yang dipermasalahkan adalah sengketa kepemilikan hak atas tanah, maka penyelesaiannya berada di ranah Peradilan Umum. Oleh karena itu, pemahaman mengenai substansi permasalahan dalam perkara pertanahan sangat penting dalam menentukan jalur hukum yang tepat untuk penyelesaiannya.

Bukti Resmi Kepemilikan Tanah

Sertifikat merupakan dokumen resmi yang berfungsi sebagai tanda bukti hak atas tanah. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang berbunyi:

Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.

Selain itu, jika sebuah bidang tanah telah diterbitkan sertifikatnya secara sah atas nama seseorang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan telah menguasainya secara nyata, maka pihak lain yang merasa memiliki hak atas tanah tersebut tidak dapat lagi menuntutnya. Hal ini berlaku jika dalam jangka waktu 5 tahun sejak penerbitan sertifikat tidak ada keberatan tertulis yang diajukan kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan, atau tidak ada gugatan yang diajukan ke pengadilan terkait penguasaan tanah maupun penerbitan sertifikat tersebut.[1]

Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara

Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) berwenang menyelesaikan sengketa di bidang tata usaha negara sesuai dengan Pasal 4 UU 9/2004 dan Pasal 25 ayat (5) UU Kekuasaan Kehakiman. Kekuasaan ini dijalankan oleh PTUN sebagai pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) sebagai pengadilan banding, dan berpuncak pada Mahkamah Agung.[2]

Dalam konteks pertanahan, sertifikat tanah yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dikategorikan sebagai keputusan TUN, sebagaimana diatur dalam PP 24/1997. Jika penerbitan sertifikat tersebut memiliki cacat hukum administrasi dan merugikan pihak tertentu, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ke PTUN. Gugatan ini dapat berisi tuntutan agar sertifikat dinyatakan batal atau tidak sah, serta dapat disertai tuntutan ganti rugi atau rehabilitasi sesuai dengan Pasal 53 ayat (1) UU 9/2004. Dengan demikian, sengketa terkait keabsahan sertifikat tanah dapat diselesaikan melalui PTUN.

Kewenangan Peradilan Umum

Secara umum, peradilan umum memiliki kewenangan untuk menangani dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam sistem peradilan umum, kekuasaan kehakiman dijalankan oleh Pengadilan Negeri (PN) sebagai pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding, dan berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi.

Dalam konteks perkara pertanahan, jika yang dipersoalkan adalah sengketa kepemilikan hak atas tanah, bukan keabsahan penerbitan sertifikatnya, maka Pengadilan Negeri (PN) yang berwenang untuk memeriksa dan memutuskannya. Hal ini sejalan dengan Putusan PTUN No. 221/G/2011/PTUN-JKT, yang mengacu pada Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 22/K/TUN/1998 jo. 16 K/TUN/2000 jo. 93/K/TUN/1996. Yurisprudensi tersebut menegaskan bahwa sengketa kepemilikan tanah bukan merupakan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), melainkan menjadi ranah peradilan umum, yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan. Oleh karena itu, jika seseorang merasa hak kepemilikannya atas tanah dilanggar atau dipermasalahkan, maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri untuk menyelesaikan sengketa kepemilikan tersebut.

Dasar Hukum

·   Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan diubah kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;

·    Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan diubah kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;

·   Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;

·   Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;

·   Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2020 tentang Badan Pertanahan Nasional;

·   Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan. 



[1] Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

[2] Pasal 5 jo. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bagaimana Menambahkan Nama Ayah Biologis di Akta Kelahiran Terhadap Anak Luar Kawin?

PHK karena Cacat akibat Kecelakaan Kerja: Dibenarkan oleh Hukum?