Bercerai karena Tak Punya Anak: Mungkinkah Secara Hukum?

 


Undang-Undang Perkawinan mendefinisikan perkawinan sebagai suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita dalam kedudukan sebagai suami istri, yang bertujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia, harmonis, dan kekal berdasarkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan tidak hanya dimaknai sebagai hubungan hukum antara dua individu, tetapi juga sebagai suatu institusi sosial yang memiliki nilai-nilai moral, agama, dan budaya yang melekat di dalamnya.

Namun, dalam realitas kehidupan, mempertahankan dan mewujudkan tujuan perkawinan bukanlah perkara yang mudah. Berbagai faktor, baik dari dalam maupun luar hubungan suami istri, dapat menjadi tantangan dalam menjaga keutuhan rumah tangga. Dalam menghadapi permasalahan tersebut, hukum menyediakan mekanisme yang memungkinkan pengakhiran ikatan perkawinan jika keberlanjutannya tidak lagi dapat dipertahankan. Mekanisme ini dikenal sebagai perceraian, yaitu suatu proses hukum yang bertujuan untuk mengakhiri hubungan pernikahan secara sah, guna memberikan kepastian hukum bagi kedua belah pihak serta melindungi hak-hak yang timbul akibat pembubaran perkawinan, termasuk hak anak dan aspek-aspek keperdataan lainnya.

Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk mengajukan perceraian telah ditetapkan secara terbatas dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, suami atau istri tidak dapat secara sepihak atau tanpa alasan yang sah mengakhiri ikatan perkawinan. Ketentuan mengenai alasan perceraian ini diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, diantaranya yaitu:

a.     Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b.     Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

c.     Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d.     Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;

e.     Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;

f.      Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur alasan perceraian, tidak terdapat dasar hukum yang secara eksplisit menyatakan bahwa ketidakmampuan memiliki keturunan dapat dijadikan alasan sah untuk mengajukan perceraian di pengadilan. Dengan demikian, dalam sistem hukum yang berlaku, ketiadaan anak bukanlah faktor yang secara langsung membenarkan pemutusan ikatan perkawinan. Namun, pada praktiknya pasangan yang ingin mengajukan perceraian dengan alasan belum dikaruniai keturunan sering kali menggunakan dasar hukum lain yang secara yuridis dapat diterima oleh pengadilan. Alasan-alasan tersebut diantaranya yaitu:

1.     Alasan Cacat Fisik atau Penyakit sebagai Dasar Perceraian

Dalam konteks perceraian, salah satu alasan yang dapat diajukan adalah apabila salah satu pasangan mengalami cacat fisik atau mengidap penyakit tertentu yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk menjalankan kewajiban dalam pernikahan, termasuk dalam hal hubungan suami istri. Apabila kondisi ini menjadi penyebab utama pasangan tidak dapat memiliki keturunan, maka hal tersebut dapat dijadikan dasar untuk mengajukan perceraian di pengadilan.

Namun agar alasan ini dapat diterima secara hukum, pihak yang mengajukan gugatan perceraian (Penggugat) memiliki kewajiban untuk membuktikan kebenaran klaim tersebut. Pembuktian dapat dilakukan dengan menyertakan bukti medis yang sah, seperti surat keterangan dari dokter atau lembaga kesehatan yang berwenang, yang menyatakan bahwa pasangan mengalami kondisi yang menyebabkan ketidakmampuan menjalankan kewajiban dalam perkawinan. Dengan adanya bukti yang jelas dan sah, pengadilan dapat mempertimbangkan permohonan perceraian berdasarkan alasan ini sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

2.     Pertengkaran yang Terjadi Secara Terus-Menerus sebagai Alasan Perceraian

Alasan pertengkaran yang terjadi secara terus-menerus merupakan salah satu dasar hukum yang paling sering digunakan dalam gugatan perceraian, terutama apabila konflik tersebut berkaitan dengan ketidakmampuan pasangan untuk memiliki keturunan. Dalam kondisi ini, pihak yang mengajukan gugatan perceraian (Penggugat) biasanya menyatakan bahwa hubungan rumah tangga tidak lagi harmonis akibat seringnya terjadi perselisihan dengan pasangannya (Tergugat) karena belum dikaruniai anak. Ketidakharmonisan yang berkepanjangan ini kemudian menjadi alasan utama bagi Penggugat untuk mengajukan perceraian di pengadilan.

Pembuktian Pertengkaran dalam Rumah Tangga

Agar gugatan perceraian dapat diterima oleh pengadilan, Penggugat harus dapat membuktikan bahwa pertengkaran yang terjadi bukan sekadar perbedaan pendapat sesaat, melainkan perselisihan yang terus-menerus dan tidak dapat diselesaikan secara damai. Berdasarkan Pasal 22 ayat (2) PP Nomor 9 Tahun 1975, gugatan perceraian dengan alasan pertengkaran atau perselisihan hanya dapat diterima setelah pengadilan mendengarkan keterangan dari pihak keluarga atau orang-orang terdekat dari pasangan suami istri. Ketentuan ini juga diperkuat dalam Pasal 134 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menyatakan bahwa Pengadilan Agama dapat mempertimbangkan dan menerima permohonan perceraian apabila telah mendapatkan keterangan dari pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami istri mengenai adanya perselisihan yang tidak dapat didamaikan.

Dengan demikian, untuk membuktikan adanya pertengkaran yang menjadi dasar perceraian, pihak Penggugat perlu menghadirkan saksi dari keluarga, kerabat, atau orang-orang terdekat yang dapat memberikan kesaksian mengenai kondisi rumah tangga yang tidak lagi harmonis. Kesaksian ini menjadi salah satu alat bukti penting yang dapat mendukung gugatan perceraian agar dapat dikabulkan oleh pengadilan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Dasar Hukum:

UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Kompilasi Hukum Islam


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bagaimana Menambahkan Nama Ayah Biologis di Akta Kelahiran Terhadap Anak Luar Kawin?

SENGKETA TANAH, HARUS KE PTUN ATAU PN? JANGAN SAMPAI SALAH!

Karyawan Kontrak Resign, Tetap Dapat Uang Kompensasi? Cek Faktanya!