Tersandung Barang Kedaluwarsa? Ini Solusi Hukum yang Tepat!

Legalitas Penjualan Barang yang Telah Kedaluwarsa

Pencantuman label kedaluwarsa pada suatu barang merupakan aspek penting dalam perlindungan konsumen. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kedaluwarsa merujuk pada kondisi suatu barang atau tuntutan yang telah melewati batas waktu berlakunya atau habis tempo. Lebih lanjut, menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, barang didefinisikan sebagai setiap benda, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, serta dapat dihabiskan maupun tidak dihabiskan, yang diperjualbelikan, digunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.



Penjualan barang yang telah melewati masa kedaluwarsa merupakan pelanggaran terhadap hak konsumen untuk memperoleh kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam menggunakan atau mengonsumsi suatu produk. Meskipun suatu barang telah mencantumkan tanggal kedaluwarsa, apabila tetap diperjualbelikan setelah melewati batas waktu tersebut, maka tindakan tersebut bertentangan dengan ketentuan perlindungan konsumen. Merujuk pada ketentuan Pasal 8 ayat (1) huruf g UU Perlindungan Konsumen, pelaku usaha dilarang untuk memproduksi dan/atau memperdagangkan barang atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan oleh peraturan perundang-undangan. Barang yang telah kedaluwarsa secara otomatis tidak lagi memenuhi standar kelayakan untuk dikonsumsi atau digunakan, sehingga tetap memperdagangkannya dapat menimbulkan risiko kesehatan dan keselamatan bagi konsumen.

Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 62 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen, yaitu pidana penjara dengan jangka waktu maksimal lima tahun atau denda paling banyak Rp 2 miliar. Dengan adanya ketentuan ini, pelaku usaha memiliki kewajiban hukum dan moral untuk memastikan bahwa barang yang diperjualbelikan dalam kondisi layak serta sesuai dengan standar yang telah ditetapkan guna melindungi hak dan keselamatan konsumen.

Langkah Hukum bagi Konsumen yang Membeli Barang Kedaluwarsa

Apabila seorang konsumen secara tidak sengaja membeli barang yang telah melewati masa kedaluwarsa di minimarket atau tempat usaha lainnya, langkah pertama yang dapat dilakukan adalah menyampaikan keluhan langsung kepada pihak minimarket. Tindakan ini sejalan dengan ketentuan Pasal 4 huruf h UU Perlindungan Konsumen, yang menyatakan bahwa setiap konsumen berhak memperoleh kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Kemudian ketika pihak minimarket tidak memberikan solusi yang memuaskan atau menolak untuk mengganti barang tersebut, konsumen dapat menempuh langkah hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 45 UU Perlindungan Konsumen yakni sebagai berikut:

(1)  Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.

(2)  Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.

(3)  Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.

(4)  Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, konsumen yang mengalami kerugian akibat pembelian barang kedaluwarsa memiliki hak untuk menempuh berbagai mekanisme penyelesaian sengketa. Konsumen dapat menyelesaikan sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau lembaga lain yang berwenang dalam menangani sengketa konsumen. Selain itu, konsumen juga dapat mengajukan gugatan ke pengadilan jika penyelesaian melalui jalur di luar pengadilan tidak membuahkan hasil.

Namun, apabila sengketa telah diselesaikan melalui lembaga penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, maka pengajuan gugatan ke pengadilan hanya dapat dilakukan jika upaya di luar pengadilan tidak mencapai penyelesaian yang memuaskan. Hal ini sesuai dengan Penjelasan Pasal 45 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen, yang menegaskan bahwa penyelesaian sengketa melalui lembaga penyelesaian sengketa konsumen tetap memungkinkan adanya penyelesaian damai antara kedua belah pihak. Setiap tahapan penyelesaian sengketa pada prinsipnya mengutamakan kesepakatan damai antara konsumen dan pelaku usaha tanpa harus melalui proses peradilan atau badan penyelesaian sengketa.

Penyelesaian sengketa secara damai ini merujuk pada mekanisme yang dilakukan secara langsung oleh konsumen dan pelaku usaha, selama tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Oleh karena itu, konsumen memiliki kebebasan untuk menentukan jalur penyelesaian sengketa yang paling sesuai dengan kebutuhannya. Jika konsumen memilih untuk menempuh jalur pidana, maka dapat melaporkan pelanggaran tersebut kepada pihak berwajib agar diproses melalui sistem peradilan pidana.

Dalam setiap kasus sengketa konsumen, pelaku usaha memiliki kewajiban hukum untuk memberikan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian yang dialami konsumen akibat penggunaan barang atau jasa yang tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan.[1] Penyelesaian melalui jalur pengadilan akan mengikuti ketentuan peradilan umum yang berlaku, dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 45 UU Perlindungan Konsumen.[2]

Dasar Hukum

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen


[1] Pasal 7 huruf f UU Perlindungan Konsumen

[2] Pasal 48 UU Perlindungan Konsumen 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bagaimana Menambahkan Nama Ayah Biologis di Akta Kelahiran Terhadap Anak Luar Kawin?

SENGKETA TANAH, HARUS KE PTUN ATAU PN? JANGAN SAMPAI SALAH!

PHK karena Cacat akibat Kecelakaan Kerja: Dibenarkan oleh Hukum?